
“Jangan nangis terus, malu dong sama orang!” “Gitu aja kok marah, kamu tuh manja ya!” “Mainan rusak aja sedih, lebay!”
Kalimat-kalimat seperti itu sering kita dengar, bahkan mungkin pernah kita ucapkan sendiri. Kita tumbuh di lingkungan yang terbiasa meremehkan perasaan anak-anak, menganggap mereka belum cukup paham dunia, atau mengira emosi mereka tidak sepenting emosi orang dewasa. Padahal, justru di masa kecil itulah seseorang belajar mengenali duni termasuk dunia emosi mereka sendiri. Di balik sikap "rewel", tantrum, atau bahkan keheningan seorang anak, seringkali tersimpan pesan: “Aku butuh dimengerti, bukan dihakimi.”
💬
"Empati : Bekal penting yang sering terlupakan"
Dalam hiruk-pikuk kehidupan sebagai orang tua, pendidik, atau pengasuh, kita mudah terpancing emosi. Kita ingin anak patuh, tenang, tidak rewel, tidak ribut. Tapi kita lupa bahwa mereka bukan robot. Anak-anak tidak diciptakan untuk selalu bisa mengatur diri mereka secara sempurna, apalagi jika mereka masih belajar banyak hal untuk pertama kalinya.
Empati bukan hanya soal memahami, tapi juga hadir secara emosional untuk anak. Artinya, kita tidak hanya memberi nasihat atau solusi, tapi benar-benar masuk ke dunia mereka, melihat dari sudut pandang mereka, dan memberi ruang bagi perasaan mereka untuk hadir.
Saat anak menangis karena balon kesayangannya meletus, kita tak perlu berkata, "Ah, itu cuma balon."
Cukup katakan: "Kamu sedih ya balonnya pecah? Iya, itu balon kesukaan kamu ya."
Kalimat sederhana seperti itu bisa mempererat hubungan emosional dan membangun rasa aman dalam diri anak.
💡
Mengapa Anak Sering Dianggap “Berlebihan”?
Karena kita lupa: skala dunia anak sangat kecil. Bagi mereka, kehilangan balon sama beratnya dengan kehilangan sesuatu yang berharga. Kita yang dewasa, dengan pengalaman dan logika matang, lupa betapa menakutkannya dunia bagi seseorang yang baru belajar berjalan, berbicara, dan memahami arti kecewa. Anak-anak tidak punya kosakata emosional yang lengkap. Mereka belum bisa berkata, “Aku frustrasi karena merasa tidak punya kendali atas situasi ini.” Jadi mereka berteriak, menangis, atau menggigit. Dan sayangnya, banyak dari kita justru membalas ekspresi emosi itu dengan amarah yang lebih besar.
📖
Perbedaan Mengasuh dengan "Marah" dan Mengasuh dengan "Empati"
Marah itu wajar, kita semua pernah merasa kesal saat anak tidak mendengarkan. Tapi jika kemarahan menjadi respons utama kita setiap kali anak berulah, kita sedang membentuk pola komunikasi yang penuh rasa takut, bukan rasa aman. Bandingkan dua situasi ini:
- Tanpa empati: “Berapa kali Mama bilang jangan main air! Nakal banget sih kamu!”
- Dengan empati: “Kamu senang main air ya? Tapi main air di lantai bikin bahaya, bisa jatuh. Yuk, kita ganti kegiatan yang lebih aman.”
Respons penuh empati seperti itu membuat anak merasa:
- Dihargai perasaannya
- Tidak takut pada orang tuanya
- Lebih mudah memahami aturan
Dan yang terpenting, mereka belajar bahwa emosi itu boleh dirasakan, asalkan disalurkan dengan cara yang tepat.
✅
Anak yang Dipahami Akan Lebih Mudah Belajar Mengatur Diri
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan dengan pendekatan empatik:
- Lebih mampu mengenali dan mengatur emosinya sendiri
- Lebih mudah membentuk hubungan sosial yang sehat
- Lebih kecil risikonya mengalami gangguan kecemasan dan agresivitas
Empati membangun kepercayaan dan koneksi. Anak yang merasa didengar akan lebih terbuka berbicara. Anak yang merasa aman akan lebih tenang. Dan dari situlah pembelajaran yang sesungguhnya bisa dimulai.
⚠️
Cara Praktis Membangun Empati dalam Kehidupan Sehari-hari
- Dengarkan Tanpa Menyela Biarkan anak selesai bicara tanpa langsung menyanggah atau mengoreksi.
- Validasi Emosi Mereka “Wajar kok kamu sedih.” atau “Kamu kesel ya?” membantu anak mengenali emosinya.
- Gunakan Bahasa Mereka Jelaskan hal sulit dengan cara yang mereka pahami.
- Jangan Beri Label Hindari menyebut anak "nakal", "manja", "cengeng"—itu bisa jadi luka emosional.
- Minta Maaf Jika Perlu Anak akan belajar bahwa orang tua pun bisa salah dan memperbaikinya. a.
✨
Anak Tidak Butuh Orang Tua yang Sempurna
Yang anak butuhkan bukan orang tua yang selalu benar, tapi yang mau mendengarkan dan belajar bersama mereka. Empati bukan hanya membuat anak tumbuh sehat secara emosional, tapi juga menciptakan keluarga yang lebih damai dan penuh cinta.
Karena suatu hari nanti, mereka mungkin akan lupa mainan yang kita beli, tapi mereka tidak akan pernah lupa bagaimana rasanya dicintai dan dimengerti.