18 Agustus 2025 8:26 pm

Jangan Terlalu Sering Marah - Anak Tidak Belajar dari Amarah, Tapi dari Contoh !

Jangan Terlalu Sering Marah - Anak Tidak Belajar dari Amarah, Tapi dari Contoh !
Setiap anak adalah ladang belajar. Dan setiap orang tua adalah guru pertama mereka. Maka ajarkan mereka dengan cinta, bukan amarah.
Sebagai orang tua, menghadapi tingkah laku anak yang sulit dikendalikan adalah hal yang wajar. Kadang kala, rasa lelah, stres, dan ekspektasi yang tidak sesuai bisa memicu emosi. Tanpa disadari, kita mulai sering memarahi anak dengan harapan mereka segera mengerti dan berubah. Namun, apakah marah setiap hari benar-benar membuat anak belajar? Atau justru menyisakan luka yang tidak terlihat?

Marah Adalah Reaksi Alami, Tapi...


Tidak ada orang tua yang ingin menyakiti anaknya. Namun marah yang dilakukan terus-menerus, terutama dengan nada tinggi, teriakan, atau hukuman emosional, bisa berdampak negatif terhadap perkembangan psikologis anak. Anak memang mungkin akan menurut untuk sementara waktu, tapi bukan karena dia memahami kesalahannya—melainkan karena takut. Ini bukanlah bentuk pembelajaran yang sehat.

📌- Dampak Buruk Marah Terus-Menerus pada Anak

  1. Anak Menjadi Takut, Bukan Paham, Saat anak dimarahi terus-menerus, ia belajar bahwa membuat kesalahan berarti akan dimarahi. Bukan belajar mengapa perilaku itu salah, melainkan belajar untuk menghindari marah. Ini menyebabkan anak bertindak bukan karena kesadaran, tapi karena rasa takut.
  2. Rasa Bersalah yang Tidak Sehat, Saat dimarahi secara berulang, anak bisa tumbuh dengan rasa bersalah berlebihan. Ia mulai merasa dirinya tidak cukup baik, selalu salah, dan akhirnya tumbuh menjadi pribadi yang rendah diri serta takut mengambil keputusan.
  3. Meniru Pola Agresi, Anak adalah peniru ulung. Saat mereka sering menerima kemarahan, mereka bisa menyerap cara itu sebagai model dalam menyelesaikan konflik. Hasilnya? Mereka akan tumbuh menjadi anak yang mudah marah, kasar, atau tidak mampu mengelola emosinya.

🎯- Mengubah Marah Menjadi Momen Edukatif

Sebagai orang tua, kita tidak perlu menjadi sempurna, tapi kita bisa berusaha lebih sadar dan bijak dalam merespons perilaku anak.

- Gantilah Marah dengan Komunikasi Tegas Namun Lembut, Bersikap tegas bukan berarti harus berteriak. Kalimat yang jelas dan konsisten, dengan suara tenang, justru lebih masuk ke dalam hati anak. Misalnya: “Mama tidak suka kalau mainannya dilempar. Ayo kita rapikan bersama.”
- Tarik Napas Sebelum Merespons, Memberi jeda beberapa detik sebelum merespons bisa membuat perbedaan besar. Ini memberi waktu bagi kita untuk menenangkan diri dan memilih kata-kata yang lebih membangun.
- Beri Penjelasan dan Kesempatan untuk Belajar, Setiap kesalahan adalah kesempatan belajar. Ajak anak berdialog tentang perilaku yang tidak tepat, beri mereka ruang untuk memperbaiki dan tumbuh. Daripada berkata, "Kamu selalu bikin masalah!", lebih baik katakan, "Ibu tahu kamu kesal, tapi melempar barang bukan cara yang baik. Yuk kita cari cara yang lebih baik untuk menyampaikan perasaanmu."

- Anak Butuh Orang Tua yang Bisa Menjadi Contoh

Anak tidak membutuhkan orang tua yang sempurna. Mereka butuh orang tua yang hadir, sabar, dan bisa menjadi teladan. Cara kita mengelola emosi akan menjadi cerminan bagi anak dalam mengelola emosinya sendiri di masa depan. Mengasuh anak adalah perjalanan panjang yang dipenuhi proses belajar, termasuk belajar mengenali dan mengelola amarah kita sendiri. Yuk, tumbuh bersama anak—dengan cinta, bukan dengan marah.


Blog Post Lainnya
-

Adopsi Produk Wuffyland

Alamat
0815-1506-4546
wuffyland@gmail.com
Jl. Kalimosodo XII No. 2, Polehan, Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur, Indonesia
Media Sosial
Newsletter
`Subscribe
@2025 wuffyland Inc.